Bukan Sekedar ber-Lable "IBU"



    Ketika kebimbangan gadis di usia 20 tahun keatas mengenai permasalahan pasangan, apakah itu akan melanda semua kalangan umat manusia. Dimana segala seputar berita di media, meng-up menikah muda, saya rasa sudah sejak lama mungkin hal itu sudah cukup terlihat menarik di kalangan para generasi muda. Saya masih ingat, mungkin tepat saat ku kelas 3 SMA, dimana teman-teman ku yang lain memiliki impian bermacam-macam mengenai "mau jadi apa?" setelah lulus sekolah menengah atas saya justru hanya memiliki planning yang cukup umum di bicarakan : lulus SMA, kuliah, lalu menikah (toh jika tidak kuliah tak apa, aku perempuan. Untuk urusan ekonomi, tanggung jawab suami)

 

    Tetapi ternyata tidak sesederhana itu, pernikahan yang saya anggap keren saat itu ternyata tidak sesederhana teori dalam isi kepala anak muda seusia ku. Saat itu ibu sedang gencar-gencar nya memberikan petuah, "jangan jadi perempuan yang hanya bisa berpangku tangan. Kalo pendidikan dan pengetahuan aja kamu standar, gimana kabar anak-anak kamu nanti ketika menanyakan PR sekolah" dan lain hal. Mungkin saat itu saya tidak menggubris nya, hanya masuk lewat telinga kanan lalu keluar lewat telinga kiri tanpa ada yang menyangkut sama sekali. Butuh proses waktu yang lama untuk memahami, dengan pola pikir yang sudah tidak lagi muda sesuai usia.

 

    Entahlah, semakin banyak aku melihat realita mengenai sebuah kehidupan rumah tangga ternyata permasalahan orang dewasa di dalam nya serumit rumus matematika ataupun fisika. Dimana banyak isi kepala di dalam nya dan juga kehidupan masa depan anak yang ada. Bukan permasalahan isi perut saja, tapi juga asupan otak anak yang harus di fikirkan "mau di beri apa jika ibu nya saja tidak tau apa yang seharusnya di berikan?". Untuk sebagian orang mungkin sudah merasa mampu dan layak untuk menjadi seorang ibu, tetapi lagi-lagi untuk menjadi seperti itu tidak sesederhana yang di tuju.

 

    Teknologi semakin maju, pendidikan pun mungkin akan semakin berkembang dengan segala hal yang memaksa manusia untuk berfikir dan bergerak lebih cepat. entahlah, lagi-lagi seolah semua nya terlalu cepat. Hari ini aku melihat langsung bagaimana reaksi anak dan ibu, ketika berdebat hanya karena tugas sekolah yang rumit dengan segala angka di dalam nya. Dimana sang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar dengan sistem pendidikan saat ini yang mau tidak mau harus mengandalkan teknologi, justru menyalahkan ibunya karena tidak bisa menerangkan dan menjelaskan bagaimana cara mengerjakan soal, dan sang ibu yang tetap kekeh menyalahkan guru yang tidak becus menjelaskan pelajaran pada anak murid nya dan juga tidak lupa gadget anak yang lagi-lagi terlihat seperti pelaku utama. Mungkin ini yang di maksud kalimat ibu saat itu, dimana peran ibu menjadi sekolah pertama dan guru pertama dalam kehidupan anak nya. Walaupun ada sekolah yang menjadi tempat menuntut ilmu, tapi seorang ibu lah yang lebih berperan dalam menunjang isi kepala anak nya. Karena nyatanya, guru hanyalah menjadi perantara apa saja teori pengetahuan secara garis besar yang sekolah inginkan dan selebihnya keluarga lah yang bertindak.

 

    Peran ini bukan hanya berpatokan pada tangan ibu, tapi juga seluruh anggota keluarga yang saling bergandeng tangan membantu. Tapi yang selalu aku ingat, ibu adalah tiang penting suatu rumah. Entah apa yang terjadi jika tiang nya tidak kokoh, apalagi tidak lagi bisa menyangga dengan benar. Sudah banyak penelitian dalam beberapa jurnal atau artikel yang menjelaskan adanya perbedaan bagaimana keluarga ataupun kondisi anak dengan ibu yang berpendidikan ataupun tidak, tapi dalam hal ini bukan berarti saya seolah menunjukkan bahwa ibu yang tidak berpendidikan itu buruk, tidak, bukan itu. Hanya saja sebagai pengingat terutama untuk diriku sendiri, bahwa seorang wanita bukan saja memiliki garis kehidupan seperti sekolah sebagai pemenuhan tuntutan orang tua lalu selesai dan melarikan diri kedalam sebuah ikatan pernikahan dengan berbekal pengetahuan seadanya. Kita wanita lebih dari itu karena ada tanggung jawab masa depan anak yang ada di genggaman.

 

    Sikap anak, pola pikir anak, psikologis anak, kesehatan anak dan isi dalam atap yang sudah di bangun pun hampir sebagian besar itu tanggung jawab kita sebagai wanita. Kita punya peran penting di dalam nya, walaupun bukan sepenuhnya karena lagi-lagi kita saling menopang satu sama lain dengan pasangan yang kita pilih mampu untuk ikut menopang apa yang sudah di sepakati untuk di bangun dari awal sampai akhir. Kita wanita perlu berdaya, berkembang, berpendidikan, dan memiliki wawasan seluas-luasnya. Karena dari rahim kita lah, akan lahir anak manusia yang akan kita beri persiapan apa untuk kehidupan nya,dan dengan tangan kita lah, mau di tuntun kemana langkah kecil nya. Tanggung jawab itu ada pada kita sebagai wanita, mau seperti apa anak kita tergantung apa yang sudah kita persiapkan dan di berikan pada anak manusia yang telah kita lahirkan. 


Komentar